Subscribe Us

header ads

Terlambat




    Hei Yaman, Hadza Maskani …

    Maskan Yaman Athraful Maskan …

     Sebait lirik dari lagu kebanggaan keluarga besar Rayon Yaman.

Corner of Paradise, itulah julukan dari rayon ini, rayon Yaman. Julukan itu disematkan karena Yaman memang terletak di pojok komplek asrama Yaqzhah. Dan komplek Yaqzhah ada di pojok selatan kampus Gontor. Serba pojok. Bangunan empat lantai itu selalu jadi momok menyeramkan bagi siapapun yang ditakdirkan untuk tinggal di sana. Sungai Malo yang mengalir di dekatnya menambah kesan magis bagi rayon ini.

Liburan panjang baru saja usai. Para santri mendapatkan tempat tinggal baru di pondok. Dua puluh satu rayon yang tersedia dibagi untuk anak baru dan anak lama. Masing-masing dibagi lagi menjadi rayon anak shigor (kecil) dan anak kibar (besar/dewasa). Setiap rayon memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, dan setiap rayon memiliki kisahnya masing-masing.

            Corner of Paradise …? Ke koperasi jauh, ke kelas jauh, ke masjid juga jauh, kalau susah begini, dari mana paradise-nya coba?” Seorang santri kelas empat mengeluh tentang rayon barunya. Keluhan tadi seperti sangat dijiwai oleh anak itu. Mimik wajah dan gerakan tangannya memperlihatkan penjiwaan darinya. Dia sedang bersama seorang temannya yang sama-sama kelas 4 KMI. Dua anak itu sedang menyantap makanan di Kajol, sebuah kafe di samping gedung Solihin. Di sekelilingnya, banyak santri lain yang sedang menghabiskan waktu untuk makan bersama karibnya. Tidak ada yang makan sendiri. Makan sendirian merupakan tindakan yang dianggap tidak elok di pondok.

            Teman makannya meladeni keluhannya sambil makan. “Naf’an … Naf’an … kasihan banget ente. Ya, Memang begitulah nasibnya kalau tinggal di Yaman. Waduh ana enggak bisa bayangin betapa beratnya hidup ente, Naf’an!” Mereka sangat dekat. Saling ledek menjadi hal yang lumrah. Dia menahan tawa melihat ekspresi kecut Naf’an yang menggerutu.

            “Ente enak, Malik, tinggal di maskan Saudi.” Naf’an menjawab singkat sambil mengunyah nasi goreng dan tempe goreng di hadapannya. Wajahnya masih kecut. “Ente enggak akan bisa merasakan apa yang dirasakan anggota rayon Yaman!”

            Malik meringis melihat raut wajah temannya yang kini seperti marah. Mendengar ucapan Naf’an barusan, Malik tertawa. Dramatis sekali hidup anak rayon Yaman ini. Di pikiran Malik terbesit betapa beruntungnya nasib dirinya, dan betapa nahasnya nasib temannya. Malik senyum-senyum sendiri. Satu suapan, dua suapan, perlahan makanan yang mereka beli habis.

            Kenapa Malik beruntung? Penjelasannya sederhana sekali. Para santri kibar dari kelas empat dan tiga intensif disebar di dua komplek asrama: komplek Yaqzhah dan komplek Saudi. Komplek asrama Yaqzhah letaknya di sisi paling selatan kampus, di sebelah gedung Yaqzhah, sebelum gedung satelit. Persis seperti yang dikeluhkan oleh Naf’an, karena paling pojok, bagi santri yang tinggal di komplek asrama ini, perjalanan ke mana-mana jadi serba jauh. Apalagi yang tinggal di asrama paling pojok, Yaman. Santri yang tinggal di asrama ini harus ekstra disiplin kalau ingin selamat dari berbagai keterlambatan. Pastinya serba lebih melelahkan. Sebagai bonus, konon bagian-bagian disiplin lebih tertarik untuk inspeksi ke Yaqzhah dibanding ke Saudi. Tantangan bagi penghuni Yaqzhah sangat berat, bukan?

Beda cerita dengan rayon kibar di zona Saudi. Posisinya serba strategis karena berada di tengah-tengah pondok. Jalan sebentar bisa ke koperasi, kepeleset sedikit sampai di masjid, ke kelas juga tidak jauh. Semuanya serba nikmat. Karena begitu akrab, dorongan untuk Malik meledek Naf’an terus meronta-ronta.

            “Hmm … emang sedramatis itu ya tinggal di Yaman?” Malik kembali meledek. Wajahnya menahan tawa. Naf’an diam saja tidak mau meladeni. “Hati-hati saja, Naf’an, ente bakal kesusahan tepat waktu. Ana enggak tahu, ya, ente bakal selamat dari blacklist atau enggak? Aduh nanti terlambat terus, siap-siap saja kena botak hahaha ….”

            “Enggak mungkin ana bakal botak gara-gara terlambat,” jawab Naf’an mantap.

            “Hahaha …, haihata!” Ledekan Malik semakin menjadi.

            “Ana ini orangnya menghargai waktu, Malik. Camkan itu,” balas Naf’an dengan tegas. Dia tidak mau didiskriminasi. “Lagian, tepat waktu itu bukan tergantung tinggal di rayon mana, Malik, itu tergantung orangnya saja, kalau memang suka telat, ya akan tetap telat walau tempat tinggalnya dekat.”

            “Wah, sejak kapan ente jadi bijak begini?!” Malik tertawa lagi. Menggoda Naf’an yang sedang galau menjadi keseruan bagi Malik yang iseng.

            “Lihat saja nanti. Satu tahun ini, sampai naik kelas lima, ana enggak akan botak karena terlambat.” Naf’an bersumpah bahwa dia tidak akan terlambat. Sudah saatnya mengerem Malik. Dia ingin membuktikan bahwa Malik salah. “Ingat baik-baik, Malik.”

            Kajol, Sabtu sore tanggal 22 Juli 2017, Naf’an selalu ingat hari itu sebagai hari di mana ia bersumpah akan selalu tepat waktu. Prinsip ini akan terus dia pegang. Disaksikan oleh bangku-bangku Kajol beserta butiran sisa nasi goreng di atas kertas minyak. Dan ternyata jalan yang ditempuhnya untuk membuktikan sumpah itu tidak sesederhana yang dia pikirkan.

***

            Keteguhan prinsip Naf’an terus diuji. Ujian yang dia hadapi sungguh tidak mudah. Bagaimana tidak? Rayonnya jauh dari mana-mana, apalagi ke kelas. Dia benar-benar harus sangat disiplin. Lihatlah betapa buru-buru dia sekarang. Sepuluh menit lagi lonceng masuk kelas akan berbunyi. Waktunya sangat singkat. Suara sepatu yang menapak di atas paving terdengar riuh ramai. Semuanya berlari-lari kecil menuju kelasnya masing-masing. Masing-masing membawa buku pelajaran di tangannya. Ada yang bukunya tipis-tipis, mungkin anak kelas satu atau kelas dua. Ada juga yang bukunya tebal-tebal, kemungkinan besar itu anak kelas lima atau enam, terlihat keren sekali. Ada juga yang membawa kamus, baik Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris. Jalanan pondok dipenuhi oleh warna-warni santri yang berlalu lalang.

Di rayon Yaman lantai dua, kamar 8, tangan Naf’an sigap mengancingkan kemeja sembari matanya memindai jadwal pelajaran hari ini. Tangannya berpindah ke lemari bagian atas. Jemarinya mengambil buku pelajaran sesuai dengan jadwal hari ini, tidak luput buku tulis dan juga pena. Minyak rambut dan parfum juga sangat penting. Anak kelas 4 itu beranjak menuju rak sepatu. Dipakainya kaos kaki wangi miliknya, ditentengnya sepasang sepatu. Dia turun ke lantai satu. Beberapa menit telah dihabiskan untuk bersiap-siap, kini dia keluar dari rayonnya. Naf’an tidak punya banyak waktu. Dia mesti bergegas ke kelas.

Sedetik setelah sepatu terpasang, Naf’an langsung berlari secepat mungkin. Tidak boleh terlambat. Dari asrama paling ujung selatan, dia meluncur ke gedung kelas paling ujung utara, gedung Rabithah. Naf’an melihat jam tangannya, waktu tersisa lima menit sebelum bel masuk kelas berdentang. Apakah masih mungkin? Seharusnya mustahil, normalnya butuh waktu tujuh sampai delapan menit untuk sampai di Rabithah dengan tepat waktu.

Naf’an tidak pernah sengaja untuk menerlambatkan diri. Seharusnya dia tidak tergesa-gesa seperti ini. Pagi tadi jadwalnya padat. Naf’an punya kesibukan setelah shubuh. Bagi santri kibar hal ini tidak bisa dihindari. Kapan pun akan selalu ada urusan. Kesibukannya itu mengundur waktu makan dan mandinya. Naf’an tetap makan di dapur umum seperti biasa, dan tetap antre untuk mendapatkan makan. Dia tetap menghabiskan makanannya, dia tetap mencuci piringnya. Semuanya dia lakukan sewajarnya. Yang dia percepat adalah langkah kakinya. Sadar bahwa waktunya semakin menyusut. Naf’an tidak pernah meremehkan waktu, dia menghargai waktu walau sedetik.

Naf’an tidak pernah sengaja untuk menerlambatkan diri. Beberapa menit yang lalu, setelah makan dia segera menuju kamar mandi. Antre lagi, pasti. Gayung dengan peralatan mandi seadanya dia genggam. Berkali-kali Naf’an mengecek jam tangan. Dia tidak ingin terlambat. Satu-dua kali dia menggedor pintu kamar mandi di depannya, menegur temannya untuk cepat. Waktu terus mengalir, enggan untuk berhenti apalagi untuk kembali. Jarum jam yang berdetik mengingatkan Naf’an akan sumpahnya pada Malik. Dia mempercepat semua persiapannya.

Persis seperti saat ini juga, ketika Naf’an menyibak keramaian menuju ke kelasnya, ucapan Malik terngiang-ngiang di kepala Naf’an. Mendengung bak lebah. Sejauh ini dia belum pernah terlambat. Apakah kali ini, dengan waktu yang sesingkat ini, dia masih bisa tepat waktu? Dia sudah berusaha semampunya. Naf’an pasrah. Naf’an terus berlari.

Sinar mentari pagi yang menyiram pohon-pohon di Darussalam menyaksikan para santri yang berlarian demi mengejar waktu dan karena dikejar waktu. Dari berbagai arah menuju berbagai arah. Semuanya menuju kelasnya masing-masing. Beberapa guru mengayuh sepedanya sambil memperhatikan para santri. Di berbagai titik, asatidz staf KMI berdiri di tengah jalan. Sebuah isyarat bagi para santri untuk mempercepat langkah. Bagi Naf’an tanpa adanya beliau-beliau, dia tetap akan lari secepat mungkin. Waktunya terlalu singkat.

Tiga menit tersisa. Naf’an baru sampai gedung Asia. Perjalanannya masih jauh. Mustahil, terasa sangat mustahil untuk bisa tepat waktu ke Rabithah. Masa bodoh berkeringat, Naf’an kembali mempercepat larinya.

Dua menit lagi. Naf’an sampai di depan gedung Al-Azhar. Jalanan mulai sepi. Kebanyakan santri sudah sampai di kelas-kelas. Menyisakan segilintir yang berlari-lari dengan kencang, Naf’an salah satunya.

Satu menit. Sedikit lagi Naf’an sampai di pelataran gedung Rabithah. Dia kini sedang berlari di selatan lapangan hijau.

            Teng Teng … bel masuk kelas sudah berbunyi. 2 x 4 kali suaranya terdengar sampai ke telinga Naf’an. Setiap dentangannya memecut kaki Naf’an untuk berlari sejadi-jadinya. Gedung Rabithah terlihat. Gagah dengan empat lantai dan kubahnya. Di bawah megahnya gedung itu, Ustadz Kahfi, seorang ustadz staf KMI berdiri gahar. Tangannya mengacungkan tiga jari ke atas. Waktu Naf’an hanya tersisa tiga detik. Kalau dia terlambat maka namanya akan dicatat di blacklist. Momen-momen ini begitu angker bagi seorang santri.

            Tiga detik. Dia tidak sendirian, ada beberapa santri yang masih mati-matian berusaha tepat waktu. Ada kelas satu, kelas dua, sampai kelas enam. Saking cepatnya mereka berlari, sampai tidak fokus pada jalan. Semuanya fokus urusan masing-masing, tidak terlambat.

            Dua detik. Wajah Ustadz Kahfi semakin serius. Beberapa langkah lagi Naf’an sampai. Namun, nasib baik belum ada pada sisinya. Seorang santri berbadan besar dari belakang tidak sengaja menabraknya. Tubuh Naf’an oleng. Buku-buku pelajarannya jatuh ke tanah. Ada yang terlempar beberapa meter darinya. Penanya juga ikut terlempar. Apakah masih bisa selamat?

            Satu detik. Naf’an panik sekali. Pikirannya buyar. Tangannya meraih buku-bukunya yang jatuh. Segera merapikan kembali buku-buku itu. Tak ayal buku dan tangannya menjadi kotor. Ketika dia berusaha menggapai pena miliknya …

            Tamat sudah riwayat Naf’an. Ustadz Kahfi sudah memberhentikan laju para santri. Menyuruh mereka berbaris. Nama santri-santri yang terlambat akan diabadikan di catatan hitam alias blacklist, salah satunya Naf’an. Padahal tinggal beberapa meter lagi. Dia terlambat.

            Resmi sudah, nama Naf’an tercatat di blacklist satu kali. Langkahnya gontai menuju kelas. Prinsipnya untuk terus tepat waktu tidak bisa dia pegang. Ia gagal. Wajahnya lesu, dan lesu di wajahnya semakin menjadi ketika terdengar suara yang sangat ia kenali.

            “Hei, Naf’an, yang sabar ya tinggal di Yaman.” Ledekan itu sangat familiar.

            Naf’an menoleh. Siapa lagi kalau bukan dia? Dasar, Malik!

***

            Tidak ada waktu untuk putus asa. Setidaknya itu baru sekali. Dia masih punya dua nyawa lagi untuk terlambat masuk kelas, sebelum kemudian digundul kalau terlambat tiga kali. Naf’an masih punya banyak waktu untuk berbenah dan menjadi semakin disiplin. Dia masih punya banyak kesempatan untuk membuktikan pada Malik bahwa dia salah. Optimisme ini yang mendorong Naf’an untuk bersikap tenang. Tidak berlebihan.

            Sayang seribu sayang realita yang terjadi tidak sesederhana pikiran Naf’an. Dia bisa selalu berpikir positif, tapi kenyataan terkadang menyatakan sebaliknya. Tantangan demi tantangan datang untuk menguji prinsip Naf’an.

Sinar mentari mulai redup ufuk barat. Langit sore di Kampung Damai laksana kanvas raksasa yang disiram tinta jingga. Tidak lama lagi matahari akan tenggelam. Waktu maghrib akan datang. Kamar mandi yang berderet di rayon-rayon dipenuhi suara gebyuran air. Air yang mengucur dari keran juga membuat suasana semakin ramai. Tidak ketinggalan suara gedoran pintu yang dibumbui tambahan suara, “Bissur’ah!”

Jadwal Naf’an setelah ashar padat. Jadwalnya memang selalu padat begitu. Naf’an jadi tidak punya waktu yang leluasa untuk mandi. Waktu yang tersisa untuk ke masjid semakin sempit. Terbesit di pikirannya untuk tidak mandi saja daripada terlambat. Namun, keringat dan daki di kulitnya menolak ide tersebut. Bau badannya juga tidak setuju. Naf’an yakin dengan waktu yang tersisa dia masih bisa tepat waktu untuk ke masjid. Sambil mengantre, dia berkali-kali menilik jam tangannya.

Mandi sudah tuntas. Dengan rambut dan kulit yang basah Naf’an langsung menuju ke kamarnya di lantai dua. Segera dia bersiap-siap ke masjid. Di kamar 8, Naf’an berganti baju di depan lemarinya kayunya. Digantinya kaos dan training menjadi baju sholat.

Waktunya tinggal tujuh menit. Naf’an lagi-lagi tidak punya waktu banyak. Prinsipnya untuk tepat waktu (untuk kedua kalinya) di ujung tanduk. Segera ia kancingkan baju kokonya. Badannya meliak-liuk menyusun lipatan sarung serapi mungkin. Setelah selesai dengan pakaiannya, tangan Naf’an meraih peci hitam lalu dia kenakan di kepalanya. Harus rapi, dua jari dari pelipis. Sajadah disampirkan di pundak. Terakhir Al-Qur’an, dia ambil di deretan bukunya. Segera ia keluar dari kamar. Naf’an langsung mengambil sandal sekaligus tas sandalnya. Waktu terus bergulir. Teman-teman penghuni komplek asrama Yaqzhah berbondong-bondong meninggalkan asrama masing-masing. Yaqzhah, khususnya maskan Yaman mulai sepi.

Normalnya, waktu yang tersisa cukup bagi Naf’an untuk sampai tepat waktu. Santri lain yang berjalan di bersamanya juga masih lumayan ramai. Walau kali ini sama mepetnya seperti tadi pagi, tapi jarak menuju masjid tidak sejauh ke Rabithah. Naf’an cukup tenang, dia yakin bisa tepat waktu.

Empat menit tersisa. Naf’an berlari-lari kecil. Dia sudah sampai di lorong saudi. Derap langkah kaki santri bergemuruh. Entah kenapa orang-orang di sekitarnya melirik padanya. Naf’an tidak terlalu peduli.

Tiga menit lagi. Naf’an melaju dengan kecepatan normal. Semuanya berjalan lancar, sampai seseorang menegur Naf’an.

“Akhi, hizam ente mana?” Orang yang dia tidak kenali itu menanyakan sabuk Naf’an.

Memakai sabuk di atas sarung adalah kewajiban. Hal itu sudah menjadi budaya Gontor. Naf’an kaget. Matanya langsung menengok ke pinggang. Lipatan sarungnya ternyata tidak dililit sabuk. Dia panik. Apa yang harus dilakukan?

Dua menit. Naf’an berlari seperti orang kesurupan ke rayonnya. Bagaimana mungkin dia ke masjid tidak pakai sabuk? Kalau dia paksakan ke masjid tanpa mengenakan sabuk, pasti kena masalah. Kalau dia kembali ke rayon untuk mengambil sabuk, kemungkinan besar dia akan terlambat. Serba salah. Dia memutuskan untuk kembali ke rayon. Dia berlari ke arah sebaliknya. Melawan arus santri lainnya yang menuju ke masjid. Semoga masih ada harapan.

            Benar saja, sabuknya masih menggantung di lemari kayunya. Dia menyesali kelalaiannya ini. Sekarang dia harus mengejar detik supaya bisa tepat waktu. Dia berlari kencang sekali secepat kilat. Beberapa waktu yang lalu dia terlambat ke kelas, mana mungkin dia akan terlambat lagi kali ini?

            Satu menit. Naf’an harus mengulangi perjalanannya. Jalanan mulai sepi, santri yang tersisa berlari kencang sekali, salah satunya Naf’an. Dia baru sampai di samping gedung Saudi 6.

            Teng … Teng … Bel di depan aula dibunyikan lantang sekali. Suara sandal para santri terdengar ramai bagaikan tetesan air yang menghujani atap. Naf’an sampai di depan gedung Saudi 6. Di depan masjid, di tengah jalan, sesosok bagian keamanan telah berdiri tegak dengan badan besarnya. Wajahnya sepak nan garang. Sajadah hitam di bahu sebelah kiri dan sepeda onthel yang terpakir di sebelahnya menjadikan keamanan ini terlihat semakin sangar. Sandal hitam tebal dengan pilok bertuliskan “KMN” yang ia kenakan membuat semua santri semakin segan. Tangannya mengacungkan lima jari ke atas.

Lima. Naf’an berlari kencang. Apakah dia akan terlambat lagi?

Empat. Ucapan Malik kembali terbayang di benak Naf’an. Dia tidak boleh terlambat. Dia harus membuktikan Malik salah.

Tiga. Jari sang keamanan yang diacungkan diturunkan satu persatu. Naf’an sudah sampai di depan kantor pimpinan. Pelatarannya tampak bersih. Pohon tamarindus indica di seberangnya digoyangkan angin.

Dua. Sebentar lagi. Sebentar lagi. Beberapa langkah lagi sampai. Dia harus berhasil melewati keamanan itu. Apakah masih mungkin?

Satu. Seketika waktu seperti melambat. Hentakan sandal ke tanah membiarkan debu-debu tipis berhamburan. Satu jari tersisa, jari telunjuk mengacung tegak. Mata sang keamanan tajam memperhatikan laju para santri. Jari telunjuk itu perlahan menekuk. Nasib Naf’an dipertaruhkan oleh jari itu. 10 meter saja. Apakah berhasil.

Bersyukur, sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Memang seperti itu seharusnya pada setiap waktu. Namun, Naf’an saat ini sedang luar biasa gundah, pikirannya tidak jernih, bagaimana mungkin dia sanggup untuk tenang dan bersyukur? Dia terlambat lagi.

Ritual mengantre untuk dimasukkan ke dalam blacklist kembali dia rasakan. Lagi-lagi Naf’an terlambat. Padahal dia tidak pernah sengaja untuk terlambat. Dia anak yang sangat menghargai waktu. Sambil berdiri mengantre, dia bertanya-tanya, apakah memang seperti ini nasib tinggal di rayon Yaman? Apakah sedramatis ini? Akankah terlambat terus seperti ini? Sampai digundul? Naf’an berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif itu. Sekuat mungkin Naf’an mengusir itu semua. Memang ini baru kali pertama dia terlambat ke masjid, namun Naf’an sangat terpukul. Obrolannya dengan Malik di Kajol kala itu menghantuinya.

Setelah resmi tercatat di blacklist, Naf’an berjalan gontai. Kepalanya tertunduk lesu. Prinsipnya untuk terus tepat waktu dibuat babak belur. Ketika keadaan hati sedang tidak baik seperti sekarang, satu-satunya penenang adalah dengan mengingat tuhan. Di masjid lantai satu, Naf’an curahkan semua perasaannya.

***

            Hari demi hari menyulam minggu. Minggu demi minggu merajut bulan. Naf’an menjalani rutinitas seperti biasa. Dia semakin dewasa menyikapi banyak. Banyak yang berubah darinya, tapi perangainya yang tidak pernah meremehkan waktu tidak berubah sedikit pun. Dialah Naf’an, santri tidak pernah sengaja menerlambatkan dirinya, walau kenyataan tidak sehalus niat baiknya.

Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah jarak yang jauh membuat Naf’an lagi-lagi terlambat? Apakah karena kesulitan itu dia akhirnya digundul? Setelah kejadian terlambat ke masjid, Naf’an memikirkan banyak hal. Hatinya bergejolak.

Di awal, Naf’an menyangkal. Dia tidak terima bahwa dia tidak bisa membuktikan bahwa Malik salah. Di wajahnya terpasang raut amarah. Kenapa waktu itu harus tertabrak, kenapa ketika ke masjid sabuknya bisa ketinggalan. Dia bertanya-tanya? Apa yang kurang? Dia sudah berusaha semampunya? Apakah rayon yang jauh tidak diberi kelonggaran waktu? Kalau seperti ini terus, dia bisa terlambat berkali-kali, dan akhirnya digundul? Naf’an pun terdiam. Dia termangu dan kembali berusaha mengusir pikiran negatif dari otaknya. Dia berpikir lama.

Di akhir, Naf’an mengerti, bahwa dia tidak boleh berkecil hati. Rasa sesal dan putus asa yang muncul pada dirinya bilamana terlambat tidak lain adalah karena dia bermasalah dengan ucapan Malik. Dia terlalu mengejar pembuktian. Dia ingin sekali melihat raut bersalah muncul dari wajah Malik. Naf’an berambisi membuat Malik menarik kembali ucapannya. Padahal seharusnya tepat waktu itu bukan sebatas urusan antara dia dan Malik saja. Dia harus menghargai waktu karena memang seperti itu seharusnya seorang muslim yang baik. Kalau Naf’an tepat waktu demi kebaikan dirinya sendiri, maka tidak lagi penting semua yang diucapkan oleh Malik, tidak lagi penting semua blacklist milik keamanan atau staf KMI, bahkan tidak lagi penting kalau memang di akhir dia ternyata terlambat. Yang penting dia tidak berniat meremehkan waktu, dan yang paling penting dia sudah berusaha.

Pikiran dewasa Naf’an menjadikannya lebih tenang menghadapi hari-hari berikutnya. Kebiasaan disiplin waktu Naf’an tidak berkurang sedikit pun, justru rayon Yaman membuatnya semakin disiplin. Dia terbentuk menjadi santri yang memperhatikan waktu, walau sedetik. Apakah dia pernah terlambat lagi? Iya, beberapa kali. Di banyak kesempatan dia tepat waktu, tidak jarang juga terlambat. Tapi itu kini tidak penting bagi Naf’an. Makanya Naf’an tidak pernah menghitung berapa kali dia terlambat dan masuk blacklist. Dia mengalir terus dengan watak baiknya. Kalau memang ditakdirkan untuk digundul karena sering terlambat maka terjadilah. Dia berpasrah dengan hati yang damai.

            Semua kedamaian itu berlanjut, sampai suatu desas-desus muncul di kalangan santri. Konon blacklist keamanan sudah direkap. Karenanya, Nama-nama yang terlambat lebih dari tiga kali akan dipanggil untuk digundul. Beberapa hari desas-desus itu tersebar, setelah itu benar saja, banyak santri yang dipanggil untuk deberi hukuman. Naf’an selamat, tapi tidak ada yang tahu bagaimana dia berdoa dalam tegang untuk berusaha melewati hari-hari penuh ketidakpastian itu. Kedamaian datang lagi, tapi tidak lama sampai kabar burung datang. Sekarang blacklist KMI yang sudah mulai direkap. Lagi-lagi, nasib Naf’an menjadi di ujung tanduk.

Naf’an sedang berada di kelas. Duduk dengan rapi di bangkunya. Mendengar kabar terbaru itu, Naf’an hanya bisa pasrah. Dia tidak tahu dengan pasti berapa kali dia terlambat. Dia tidak menghitungnya.

Suasana seketika menjadi mencekam dengan kedatangan seorang piket ke kelas Naf’an. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk mengantarkan kertas panggilan. Ketua kelas Naf’an menerima kertas panggilan yang diantarkan oleh piket. Kabar itu benar adanya, dan inilah buktinya. Wa laisal khabaru kal ‘iyan. Semua anggota kelas menjadi hening.

Ad-da’wah ila maktabi musa’idi idaaratil madrasah bi mabna Saudi.” Di depan teman-temannya, ketua kelas membacakan panggilan ke kantor KMI di gedung Saudi. Sekelas hening. Ada wajah yang sudah putus asa karena tahu bahwa dia pasti akan dipanggil. Ada yang santai karena sudah tahu bahwa dia pasti aman. Selain itu ada yang penasaran dan takut karena tida punya kepastian, salah satunya Naf’an.

“Habiburrahman ....”

“Fadhillah Nurahmadi ....”

Dua nama sudah, santri yang disebut namanya langsung lesu, satu lagi tersenyum berlagak santai, senyumnya tawar.

Wal-akhir, Na ....” Nama terakhir, mendengar itu Naf’an tetap merasa cemas tidak karuan, itu keniscayaan. Apakah ujung-ujungnya anggota rayon Yaman ini akan dibotak. Suara-suara godaan Malik yang sudah lama diusir entah dari mana datang kembali.

Ketua kelas melanjutkan, “Najib.” Nama terakhir tersebut. Naf’an selamat. Air mata tidak terasa menggenang di sudut mana Naf’an, dia terharu. Alhamdulillah.

***

Esok paginya, di depan gedung Asia.

Naf’an berjalan santai ke kelas. Kali ini dia masih punya waktu yang leluasa untuk ke kelas. Tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang.            

“An, Naf’an!”

Naf’an menoleh, mencari tahu siapa yang memanggilnya. Beberapa meter darinya, seseorang yang sangat ia kenal terlihat. Tapi ada yang aneh dari tampilannya. Tidak biasanya dia seperti ini. Cahaya pagi membuat mata silau. Naf’an belum bisa melihat orang itu dengan paripurna. Dia yakin yang memanggilnya barusan itu Malik. Suaranya juga suara dia. Namun, rasanya ada yang aneh? Tapi apa?

Silaunya mentari masih menghalangi penglihatan Naf’an. Selangkah demi selangkah. Masih silau, seakan-akan cahaya mentari terpantul darinya. Orang itu sudah dekat, sudah di sampingnya malah. Benar dugaan Naf’an, itu adalah Malik. Lengkap dengan kemejanya, celananya, sepatunya, sabuknya, bukunya, dan peci hitamnya. Peci hitam?

“Lihat kepala ana, ‘An,” pinta Malik. Dia menyengir. Senyumnya senyum buaya. Tangan Malik meraih peci hitam di atas kepalanya lalu melepasnya. Tersandinglah sebuah pemandangan yang sangat terang. Mahakarya luar biasa. Malik kehilangan rambutnya, dia dibotak.

“Loh, kenapa?”

“Kemarin ana dipanggil KMI, ternyata ana udah masuk blacklist empat kali. Digundul deh hahaha ....” Malik menceritakan dengan ringan saja seperti tidak berdosa. Obrolan singkat itu ditutup dengan ucapan Malik, “Kok bisa ya? Padahal ana tinggal di rayon Saudi?”

Naf’an tersenyum. Tidak ada obrolan setelah itu. Ucapan Naf’an terbukti benar, bahwa untuk bisa tepat waktu bukan masalah tinggal di rayon mana, tapi tergantung ke orangnya saja. Tepat waktu bukan masalah jarak, tapi masalah karakter. Tidak akan ada jarak yang dapat menghalangi kita untuk bisa tepat waktu jika waktu telah menjadi hal yang berharga di hati. Jarak yang sesungguhnya menghalangi kita untuk bisa tepat waktu ternyata ada pada diri sendiri.

“Kalau ingin tahu seberapa berharganya waktu satu detik, tanyakan itu kepada Naf’an, santri yang beberapa kali terlambat karena hal kecil.”

“Kalau ingin tahu seberapa berharganya waktu satu bulan, tanyakan itu kepada Malik, santri yang digundul dan harus menunggu rambutnya tumbuh.”

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar