Subscribe Us

header ads

Dua Tangis

 


Karya: Ihya

Ribuan meter dari atas permukaan. Pesawat yang kunaiki terbang melintasi lautan. Rutenya dari pulau Jawa ke Sulawesi. Menuju kampung halaman tersayang dari pesantren tercinta. Aku tidak menyangka bahwa aku sudah sampai pada titik ini. Aku tidak percaya bahwa aku sudah melewati semua hari-hari sulit itu. Enam tahun, masa nyantri itu sudah usai. Dengan sukanya, dengan dukanya. Kini, aku bukan lagi Ucil yang banyak orang kenal, mulai sekarang tolong panggil aku Ustadz Yusril.

Di langit ini, kenangan-kenangan lama di pesantren kembali berlalu lalang di benakku. Dari kenangan yang sudah lama hingga yang baru terjadi beberapa jam lalu, semuanya melintas. Sekarang aku sedang terbang pulang ke rumah, perjalanan yang seharusnya sangat diinginkan oleh para santri semasa di pondok. Kali ini seperti ada yang berbeda. Seperti ada yang berkurang, seperti ada yang hilang. Entah apa, aku berusaha mencarinya.

Beruntung aku duduk di samping jendela. Tempat terfavorit di pesawat. Aku menyapu pemandangan langit dengan mataku. Entah kenapa awan-awan yang mengambang di atas Laut Jawa ini mengingatkanku akan kabut yang bersemayam di kampung damai dan menghiasi suasana paginya. Tiba-tiba aku terbayang sebuah kejadian yang sangat menyentuh. Kejadian itu terjadi bertahun-tahun yang lalu ketika aku masih kelas satu, masa-masa awal aku di pesantren.

***

            “Di pondok, Ucil harus jadi santri yang kuat ya.”

           Itulah petuah yang ayahku sabdakan ketika melepasku. Angin malam berderu membuat perpisahan ini semakin mengharukan. Setelah menyampaikan itu, ayahku memberikan senyum tulusnya lalu berbalik badan. Dengan perginya ayahku di dalam hati seperti ada sesuatu yang hilang. Kini aku ditinggal sendirian. Mulai detik itu badanku yang mungil harus menghadapi semua urusan tanpa ada orang tua yang membantu. Tertuntut untuk menjalani hari-hari dengan mandiri sebagai seorang santri. Esoknya, sebelum matahari terbit, aku sudah disuruh bangun untuk menerobos udara shubuh yang dingin, sendirian. Hampa.

Apakah aku bisa kuat seperti yang ayahku minta? Mauku seperti itu, tapi kenyataan tidak semudah apa yang kubayangkan. Berkali-kali aku meratap kesulitan sampai menangis. Sering sekali aku menangis ketika kelas satu ini, dan yang paling kuingat adalah ketika aku tidak sanggup lagi untuk menahan tangis di balai pertemuan.

        Kurang lebih satu bulan telah berlalu. Pada saat itu pondok masih dipenuhi kegiatan pekan perkenalan. Serba padat. Kami diajarkan bahwa rentetan pekan perkenalan itu disebut Khutbatu-l-Arsy. Di tengah-tengah rentetan panjang pekan perkenalan itu, diselenggarakan pertemuan di aula bersama bapak pimpinan dan seluruh santri. Itu pertemuan perdana di setiap tahun sekaligus pertemuan aula perdanaku sebagai santri.

Pukul 8 malam, semua santri harus sudah datang ke BPPM (Balai Pertemuan Pondok Modern). Ini pertama kali aku mengikuti pertemuan di pondok. Acaranya adalah Laporan Pertanggungjawaban Panitia Bulan Syawwal. Aku yang masih kelas satu tidak terlalu paham ini acara apa? Untuk apa? Tentang apa? Aku hanya ikut saja.

Ting … Ting … Ting …

Suara bel sepeda keamanan menyeruak memenuhi atmosfer malam pondok. Tepukan tangan para mudabbir tidak kalah ramai. Semuanya seakan-akan mendorong para santri untuk cepat. Memberi isyarat bahwa acara ini sangat penting. Jangan terlambat.

Asramaku tidak jauh. Balai pertemuan tepat di depan asramaku. Setelah bersiap-siap aku keluar dari kamar, menuruni tangga, kemudian langsung berlari-larian kecil ke arah BPPM. Kemejaku kedodoran, tidak ada kemeja yang benar-benar cukup untuk badan kecilku. Buku tulis khusus dengan sampul khusus kubawa di tangan kananku. Pena hitam terselip di saku kemejaku. Sabuk yang kepanjangan dan sandal jepit yang kebesaran tidak ketinggalan.

Acara dimulai tepat waktu. Semua santri berkumpul di bawah atap balai pertemuan. Santri baru duduk di bagian dalam, santri lama di bagian luar. Di depan, di atas panggung, ada pimpinan pondok dan beberapa guru senior. Semua santri dari kelas satu sampai enam duduk dengan rapi di atas bangku yang telat tersedia.

Aku memperhatian semua rentetan acara. Bagaimana pertemuan ini dimulai dengan lantunan ayat Al-Qur’an. Sejurus setelah itu, seluruh hadirin diminta berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne Oh Pondokku. Seperti inilah sunnah pondok dalam setiap pertemuan. Lalu pertemuan dilanjutkan dengan semacam laporan. Di atas mimbar aku melihat seorang Al-Akh kelas 6 berdiri gagah dengan dasi dan jas membacakan satu-dua poin di hadapan seluruh santri. Perlahan mataku mulai terasa berat.

Hingga datang waktunya para santri mendengarkan wejangan dari Bapak Pimpinan. Satu menit, dua menit, sampai sepuluh menit aku masih bisa terjaga dan menampung semua ilmu baru dari Bapak Pimpinan. Setelah itu aku ditimpa kantuk. Pelupuk mataku tidak mau diajak kompromi. Rasa lelah yang terkumpul dari pagi kini sampai pada puncaknya. Aduh, lelah sekali. Kepalaku tanpa disadari mengangguk-angguk tidak sanggup menahan kantuk. Ternyata santri-santri di sekitarku juga sama. Tapi mana mungkin kami bisa tidur pulas di acara ini. Mudabbir berkeliling membangunkan kami, memperingatkan kami, bahkan ada yang diberdirikan supaya tidak mengantuk.

Beberapa menit berlalu. Bapak Pimpinan seperti paham kalau santri butuh semacam break untuk menyegarkan pikiran. Untuk itu beliau menginstruksikan petugas untuk menyetel sebuah lagu. Aku tertarik sekali. Lagu? Lagu apa yang mau disetel? Sepertinya akan seru.

Oh tidak, ternyata lagu Ayah. Tatkala intro musik dimainkan, seketika dadaku bergetar, aku teringat ayahku dan kampung halamanku di Sulawesi.

“Di mana … akan kucari? Aku menangis seorang diri ….”

Melintas langsung di benakku segala kenangan di rumah. Terbayang semua kenikmatannya, terbayang semua keseruannya, terbayang semua kemudahan yang ada di sana.

Ayah sekarang jauh dariku, sosoknya tidak ada di sampingku untuk menguatkanku lagi, yang ada kini para mudabbir dan asatidz yang tidak aku kenal, mereka setiap pagi buta membangunkanku, memaksaku untuk terus kuat, dan memarah-marahiku ketika aku salah. Aku ingin ayahku.

Tidak ada di sampingku sosok ibu. Dialah yang melahirkanku, membesarkanku, dan mengayomiku dengan kasihnya. Ibu yang memasak dan menyajikan makanan untukku tiga kali sehari, sekarang tiga kali sehari aku harus berlarian ke dapur untuk mengantre makan. Badanku kecil, tidak jarang antreanku dipotong, tidak jarang aku tidak mendapatkan makan.

Kasurku yang nyaman tidak ada lagi, juga selimut serta bantal empukku. Yang kupunya kini kasur lantai tipis yang tidak begitu empuk. Tidak ada bantal empuk untuk menopang beratnya isi kepalaku, tidak ada selimut yang memberi kehangatan. Tubuhku kuat menahan dingin, tapi hatiku tidak. Di rumah aku bisa tidur kapan saja kalau kelelahan, sekarang aku di sini harus selalu menahan kantuk yang luar biasa.

Waktu untuk bermain-main bersama teman-temanku di kampung halaman tidak ada lagi. Bergurau di pantai selat Makassar. Menikmati matahari tenggalam dari sana. Semuanya diganti dengan kesibukan-kesibukan yang begitu melelahkan.

Tidak ada lagi sepeda motor yang mengantarkanku sekolah, hanya ada sepasang kaki yang disuruh terus berlari. Mencuci baju sendiri, menjemur baju sendiri, melipat baju sendiri. Berbelanja kebutuhan sehari-hari harus mandiri, tidak ada lagi orang tua, tidak ada ayah.

Aku harus menahan lapar, aku harus menahan lelah, aku harus melawan sebuah gundah dalam hati secara mandiri. Aku harus menyelesaikan semua masalahku sendirian. Aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Puluhan kali aku harus menangis sendirian di kamar mandi, menangis dari balik jaket di atas kasur tidur tanpa diketahui orang lain, dan lihat kini air mataku mengalir lagi di tempat ini. Hatiku berteriak. Ayah, aku … aku … aku lemah, aku tidak kuat, Ayah.

“Hatiku slalu ingin bertemu … Untukmu, aku bernyanyi.“

Berapa kali, berapa kali aku ingin menyerah dan putus asa? Bertanya-tanya apakah aku bisa bertahan hingga akhir? Bertanya-tanya apakah aku bisa menjadi kuat? Aku ingin sekali kembali ke rumah dan bertemu ayah juga ibu.

Lagu berlanjut, aku tidak bisa menikmatinya. Aku sibuk sendiri dengan air mata dan ingusku. Langit-langit aula dipenuhi oleh suara para santri yang menyanyi. Semuanya syahdu menikmati makna dari lagu. Benar-benar bisa menyegarkan pikiran para santri yang sebelumnya mengantuk. Tapi aku tidak begitu menikmati karena membuncahnya rasa kehilangan ini. Aku sibuk dengan hatiku, pikiranku, tenagaku yang sepertinya dibuat babak belur oleh keadaan baru. Hatiku yang lemah seakan ingin menjerit-jerit minta tolong, tapi minta tolong kepada siapa? Aku rindu rumah, aku tidak betah, aku sangat rindu rumah.

“Untuk Ayah tercinta, aku ingin bernyanyi walau air mata di pipiku …”

Di bait terakhir aku memaksakan diri untuk ikut bernyanyi. Pipiku sudah basah. Dan ketika lirik lagu itu keluar dari mulutku, dadaku terasa semakin sesak. Imaji dari tawa ayah dan senyum ibu juga rumahku hinggap di benak, lengkap beserta lantai, dinding, pintu, jendela, hingga atapnya. Laksana bendungan yang jebol, tangisku semakin menjadi.

“Ayah, dengarkanlah … Aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi.”

Apakah mungkin aku pulang sekarang? Melepaskan semua penat ini? Menjauh dari segala letih ini? Ataukah aku harus terus berada di dalam penjara yang kejam ini, dan bertemu ayah hanya bisa dalam mimpi? Aku tidak bisa apa-apa sekarang. Air mataku berlinang deras. Buku tulis yang kupegang ikut basah, mungkin dia juga menangis.

Pertemuan malam itu sampai pada ujungnya. Setelah sesi penyegaran itu usai, Bapak Pimpinan menutup ucapannya malam itu dengan sebuah nasehat, “Santri-santriku yang saya cintai, ketahuilah bahwa orang tua kalian sangat menyayangi kalian dan selalu mendoakan kalian. Maka, jangan sampai kalian di pondok pesantren malah mengecewakan mereka.” Suaranya lembut tapi tegas, kalimatnya yang penuh kearifan menembus dadaku, menyentuh hatiku. Aku pun menanyai diriku sendiri, apa yang sebenarnya kucari?

Inilah kisah tangis pertamaku di BPPM.

***

            Aku terdiam sesaat, menarik napas berat. Setelah beberapa jam penerbangan, sebagian besar penumpang pesawat terlelap dalam tidur. Aku tidak tidur, tidak bisa tidur. Kenangan tadi membuatku terjaga. Aku berdiri menggapai tasku di kabin. Kubuka resletingnya kuambil sebuah buku. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin sekali mengambilnya.

            Adalah buku agenda siswa akhir KMI. Di dalamnya ada foto-fotoku bersama teman-teman seangkatan. Lembar demi lembarnya kubuka dan kunikmati semua gambarnya. Setiap halaman yang kubuka menghadirkan kenangan dan kenangan yang indah. Lihatlah, di atas awan, di sekitar penumpang yang tertidur, di hadapan buku agenda, aku senyam-senyum sendiri. Senang dan sedih, perasaanku tidak tergambarkan.

Menangis adalah perbuatan selalu dihindari oleh seorang lelaki. Karena bagi kami terkadang hal itu dianggap memalukan. Aku juga malu untuk menceritakan betapa cengengnya aku. Seiring berjalannya waktu, di pondok, aku belajar untuk kuat. Aku tumbuh besar secara fisik, aku tumbuh dewasa secara mentalitas. Ketika melanjutkan hari-hari menjadi santri, aku tidak sering lagi menangis. Sampai momen itu datang. Aku menangis lagi. Air mataku kembali berderai di momen yang tidak pernah aku sangka-sangka.

***

“Semoga lancar sampai yudisium ya, Nak, Ayah tunggu di rumah.”

Itu kalimat penutup dari ayahku sebelum telepon berakhir. Suara panggilan terputus berbunyi. Santri mana yang tidak senang pada masa-masa seperti ini. Sebentar lagi aku akan diyudisium dan menjadi alumni.

Cerita panjang perjalanan menjadi santri telah sampai pada epilognya. Ujian siswa akhir KMI yang berlangsung selama dua bulan itu sudah kulewati. Disusul dengan mengawal ujian adik-adik kelas, santri kelas satu sampai lima. Setelah itu santri kelas satu sampai kelas empat pulang. Menyisakan santri kelas lima untuk melanjutkan estafet pergerakan di pondok, begitu juga kami kelas enam untuk disiapkan lebih lanjut sebelum menjadi alumni.

Pondok tidak seramai sebelumnya. Jalanan di depan BPPM tidak seramai biasanya, tangga masjid juga tidak seramai sebelum-sebelumnya, warung-warung juga sama. Suasana yang lebih sepi ini memberikan kesan tenang yang lebih dalam bagi kami yang tidak pulang, khususnya bagi santri akhir sepertiku. Rutinitas kami lebih santai, lebih damai. Kedamaian ini semakin terasa ketika bulan Ramadhan tiba.

 Kegiatan kami yang tersisa tinggal kumpul, kumpul, dan kumpul di BPPM. Kelas enam disibukkan dengan kegiatan pembekalan intensif. Diundang untuk mengisi acara ini, banyak pemateri yang luar biasa, orang-orang yang berkapasitas dalam banyak bidang. Aku mendapatkan banyak sekali pengetahuan baru dari kegiatan ini. Setelah usai masa pembekalan intensif. Datanglah pertemuan terakhir bagi kami santri siswa akhir. Inilah pertemuan BPPM terakhir bagiku, resepsi khataman, Haflatu-l-Wada’.

Tin … Tin … Tin …

Seruan klakson dari motor jadul staf pengasuhan santri memanggil-manggil para calon alumni yang tinggal di gedung Aligarh. Seperti biasa, acara ini sangat penting, tidak boleh terlambat, langkah harus dipercepat. Barang kali ini jadi momen terakhir aku dan teman-teman diminta bersegera seperti ini sebagai santri.

Malam ini adalah malam yang panjang. Resepsi khataman ini akan berlangsung hingga waktu sahur. Di mana kemudian paginya setelah shubuh, kami langsung bersiap untuk yudisium, dan dipanggil menjadi alumni. Benar-benar pertemuan malam ini adalah pertemuan terakhir.

Bangku-bangku yang tersedia mengundang kami untuk duduk. Tampilan balai pertemuan ketika haflatu-l-wada’ disulap menjadi indah. Menjadikan momen terakhir ini sangat berkesan. Seperti ada aura yang sangat berbeda. Dadaku penuh dengan berbagai perasaan. Senang, bingung, tidak sabar, kehilangan, takjub, terkesan, dan masih banyak lagi, semuanya bercampur.

Hanya butuh waktu singkat untuk mengumpulkan para siswa akhir, para calon alumni. Sesaat kemudian haflatu-l-wada’ dimulai. Malam 11 Ramadhan akan selalu menjadi malam yang benar-benar bersejarah bagi siapa pun yang menamatkan studinya di Darussalam Gontor.

            Seperti bagaimana seharusnya pertemuan di pondok berjalan, lantunan ayat suci Al-Qur’an mengawali pertemuan. Aku menyimak dengan khusyuk. Setelah itu menyanyikan Indonesia Raya, seluruh siswa akhir beranjak dari tempat duduk, berdiri tegak menyenandungkan lagu kebangsaan.

            “Hymne Oh Pondokku ....” Dirijen di depan memberi aba-aba. Selanjutnya, menyanyikan Hymne Oh Pondokku. Kami bersiap, menarik napas, menunggu intro lagu. Tepat ketika intro Oh Pondokku didengar oleh telingaku, ada rasa yang berbeda. Lagu Oh Pondokku pun mengalir setelah itu menuju sungai-sungai kering yang ada di dalam dadaku.

            “Oh, Pondokku ….”

            Getaran apa ini? Perasaan apa ini? Dadaku sesak. Suara menggema memenuhi balai pertemuan. Lagu ini menggema bukan dari lisan, tapi dari hati. Semuanya menyanyikan lagu ini dengan syahdu, Kiai, asatidz, para santri, bahkan bangku-bangku dan meja ikut bernyanyi. Lantai aula juga langit-langitnya tidak mau tinggal diam semuanya menyanyikan Oh Pondokku. Langit dengan gugusan bintangnya menunduk dan menyorot satu titik bumi ini dengan takzim. Lagu ini seperti menyentuh titik terdalam dari sanubariku.

            “Tempat naung kita ….”

            Jiwaku seakan melayang ke cakrawala malam sehingga aku dapat melihat pondokku dari ujung hingga ujung. Dengan mataku, aku seperti bisa melihat masjidnya, aulanya, menaranya, asrama-asramanya, dapurnya, warung-warungnya, dan semua gedung-gedung yang menaungi kami setiap hari, seluruhnya seperti terlukis di mataku. Irama lagu membuatku seperti berjalan di atas jalanannya, seperti mendaki di tangga-tangganya, dan seperi berbaring di ubin-ubinnya. Ada sesuatu yang ingin keluar dari mataku, aku berusaha menahannya.

            “Dari kecil, sehingga dewasa ….”

            Aku tidak sanggup lagi menahan tangis. Tangisku pecah tak tertahankan. Tergambar jelas tubuh kecilku saat pertama aku masuk ke pondok. Cengeng, payah, pengecut dan tidak bisa apa-apa. Tapi pondok dengan kasihnya mendidikku. Membesarkanku untuk menjadi orang besar. Mengajarkanku untuk berlari dengan baik, mengajarkanku untuk berjalan dengan baik, bahkan mengajarkanku untuk tidur dengan baik. Pondok mengajariku hidup penuh makna. Menjadi saksi bagaimana aku belajar dan bertumbuh, dari kecil sehingga dewasa. Dewasa seperti sekarang. Kelas satu terlewati, kelas dua terlampaui, kelas tiga, empat, lima, dan enam sudah selesai. Aku berusaha mengatur napasku yang sesak.

            “Rasa batin damai dan sentosa dilindungi Allah Ta’ala ….”

Batinku dipenuhi rasa syukur. Di tanah rantau ini Allah memberikan pengganti terbaik dari apa yang kutinggalkan di kampung halaman. Para guru yang menjadi ayah. Para kakak kelas pengurus asrama yang menjadi ibu. Teman dari penjuru dunia dengan berbagai watak dan warna, merekalah yang mengisi hatiku, dan hari-hariku. Senyum mereka melintas di benakku, juga berangnya, juga keluhnya, juga sedihnya. Aku pasti akan merindukan mereka. Tak ayal, aku juga akan merindukan lauk-lauk di dapur. Aku akan merindukan tidur di teras asrama juga di tangga masjid. Aku juga akan merindukan aliran air kran yang kupakai untuk mencuci. Aku masih berdiri tegap, tapi hati terus bergetar.

“Oh, Pondokku, engkau berjasa, pada ibuku Indonesia ….”

Di otakku seketika sejarah pondok diputar layaknya film. Tersajikan pada layar lebarnya niat tulus nan mulia dari para pendiri. Pandangan mereka yang melangkahi zaman, pikiran yang melompat jauh ke depan. Keteguhan hati untuk membangun negeri. Mencetak manusia-manusia terbaik untuk bangsa. Pengorbanan harta, tenaga, pikiran, bahkan nyawa telah diberikan. Tercatat pada sejarah perjuangan panjangnya. Aku termangu, kenapa bagi kiai dan para pendidik yang mengabdi di pondok, urusan dunia ini seperti murah sekali? Dalam hati mereka, urusan dunia seperti kecil sekali. Sadar betapa kecilnya aku di antara kemegahan itu, air mataku berlinang lagi. Aku bisa apa?

“Tiap pagi dan petang …, kita beramai sembahyang, mengabdi pada Allah Ta’ala di dalam kalbu kita ….”

            Nada lagu ini laksana membawakan angin sejuk, hawa shubuh secara magis muncul memelukku. Terdengar sayup-sayup suara tilawah dari masjid. Suara klakson motor antik pengasuhan dan dentingan bel sepeda keamanan merambat di udara. Suasana shubuh di pondok tidak pernah kulupakan, ketika matahari akan terbit dari hadapan masjid. Bagaimana setiap pagi, sebelum matahari terbit aku harus menerobos udara dingin shubuh. Dilanjutkan sholat di waktu-waktu selanjutnya seiring jinjit langkah mentari. Zuhur dengan sinarnya menyinari kubah masjid hingga semakin terasa gagahnya. Ashar dengan anginnya yang membelai tiang-tiang jami’. Maghrib dengan salah satu senja terindah di muka bumi. Isya’ dengan langit malamnya yang memberi ketenangan. Pagi, siang, sore, dan malam tidak ada waktu yang tidak indah, apalagi di bulan yang mulia ini. Kujalani ibadah di pondok ini untuk mengingat kebesaran-Nya, untuk mendekat pada-Nya, agar kudapat rida-Nya. Itulah yang diajarkan padaku. Kuusap air mata yang semakin deras berlinang di pipiku.

            “Wahai pondok tempatku, laksana ibuku kandungku.”

            Lirik ini seperti memecutku. Enam tahun berlalu, apa yang sudah kudapat? Aku mendadak teringat bahwa masaku sebagai santri sudah usai. Apakah aku sanggup mewarisi nilai-nilai yang telah diajarkan oleh pondok, yang telah dijarkan oleh ‘ibu’? Ketika di masyarakat, bakti apa yang akan bisa kuberikan untuk membalas jasa ‘ibu’? Apakah bisa menjadi alumni yang baik? Huruf-huruf yang merajut lirik ini seperti memperlihatkan jasa-jasa ‘ibu’ padaku. Jasa-jasa yang entah aku bisa balas atau tidak. Aku mulai sesenggukan. Aku ingin berterima kasih pada ‘ibu’, tapi bagaimana? Buku tulisku ikut basah, mungkin dia ikut menangis.

            “Nan kasih serta sayang padaku ….”

            Aku terdiam. Lirik ini tidak aku nyanyikan. Ternyata apa yang kusangkakan pada pondok ketika masih anak baru tidak benar. Pondok tidak pernah kejam, pondok sangat sayang padaku. Apa jadinya aku tanpa pondok. Lagu hampir sampai pada akhirnya. Tapi tangisku entah kapan berakhir.

            “Oh Pondokku …, ibuku ….”

Ibu kandungku di kampung halaman adalah ibu biologis yang membawaku dari langit untuk turun ke bumi. Sedangkan pondok adalah ibu ideologis yang mengantarkanku dari bumi untuk kembali ke langit. Kuusap air mataku. Kami duduk kembali. Lagu ini harusnya tidak lebih dari lima menit, tapi ketika menyanyikannya kali ini, aku seakan-akan kembali mengulangi waktu enam tahun nyantri dari kelas satu lagi.

Acara berlanjut, nasehat yang diucapkan oleh Bapak Pimpinan tidak sama dari nasehat-nasehat yang pernah kudengar sebelum-sebelumnya ini. Kalimat-kalimat yang kami terima dari Ayahanda terasa tegas dan kuat, seakan-akan beliau ingin melepas para pejuang yang akan maju ke medan perang, tapi di waktu yang sama, tersirat dalam kalimat-kalimat itu rasa berat hati untuk melepas anak-anak yang telah tumbuh besar di pondok.

            Resepsi khataman pada zamanku karena suatu sebab sangat sepi, tidak ada teman-teman dari kampus cabang, tidak ada wali santri, hanya kami, siswa akhir dari kampus ini saja. Suasana luar biasa ini membuat momen aku menangis semakin tidak akan pernah terlupakan. Gedung bersejarah ini menjadi saksi bahwa anak laki-laki ini menangis lagi. Tangisku pecah lagi. Inilah lagu yang saat dulu aku masih kelas satu, aku tidak pernah menyangka ia akan bisa membuatku menangis.

            Inilah kisah tangis keduaku di BPPM.

***

Di sini, di atas langit, aku tersenyum. Senyumku dalam sekali. Mataku berkaca-kaca. Perasaan yang sedang mengisi dadaku tidak bisa diungkapkan dengan kata apa pun. Di pondok, di dalam tempat yang sama, BPPM, aku menangis dua kali. Di pertemuan perdana, dan di pertemuan terakhir sebagai santri. Pertama aku menangis karena merasa kehilangan akan kampung halaman, akhirnya aku malah menangis lagi karena merasa kehilangan pondok pesantren yang sudah membesarkanku. Kontras sekali. Tersimpan sebuah rahasia, apa yang sebenarnya terjadi di antara dua tangis ini? Kekuatan magis apa yang sanggup merubahku sedrastis ini?

Oh, pondokku, aku akan selalu merindukan fajarmu, sampai kapan pun aku akan selalu mengingat senjamu. Kini semua kisah telah menjelma kenangan. Indah sekali kenangan itu. Berharga, bahkan tak ternilai selamanya. Manusia tidak akan pernah bisa mengetahui betapa berharganya sebuah kejadian kecuali ketika ia telah menjadi kenangan. Sayangnya, kenangan tidak dapat diulang kembali. Yang tersisa hanya nostalgia. Aku menarik napas panjang. Membisu. Segala puji bagi Allah, Tuhan yang telah memberikan kisah luar biasa ini untukku.

Pesawat terus melaju. Dalam kebisuaan, aku bertanya pada diri sendiri, sekarang apa?


Picture by: Satryatama


Posting Komentar

0 Komentar