Subscribe Us

header ads

Belati Di Ujung Matamu

 

oleh: Adilia Rofa Naura*


            Aku Aleeya Ramadhani, Mahasiswi Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Kalian pasti sudah sangat mengenal kampusku ini. Aku yakin semua orang pasti tahu, kalau untuk menjadi mahasiswi disini butuh perjalanan yang begitu terjal. Tapi, bagiku menuntut ilmu disini adalah sebuah kewajiban untuk bahagiaku kedepannya.

            Lima tahun yang lalu, ketika aku hendak dipersunting oleh seorang pria alim di kampung halamanku. Aku sangat bahagia, sebagai seorang perempuan yang memilih mencintainya dalam diam, inginku akan segera terwujud. Namun, ketika ada notifikasi yang muncul di layar handphonenya, seketika semua mimpiku hilang. Dia lebih memilih notif itu dan meninggalkan aku yang sudah terduduk di pelaminan. Segala bahagia dia ubah badai derita, setiap hari dan setiap pagi ibu dan ayahku harus menghadapi segala ocehan yang dilontarkan tetangga, mereka tak terima ketika semua orang mengatakan aku perempuan pembawa sial karena telah ditinggal saat akad akan dilangsungkan. Andai saja dia paham akan kondisi yang akan terjadi! Hmhh.. Sebuah andai ini ku tepis jauh-jauh. Karena aku tahu dia tidak akan kembali. Tapi aku berjanji, aku sendiri yang akan menjadi alarm bagi hidupnya untuk mengingatkan bahwa dia punya dosa di masa lalu. Dia harus bertanggung jawab atasku!

            Dua tahun setelah kejadian itu, aku punya kesempatan untuk singgah ke Negeri Piramida. Namun, hari itu hanya sekedar mampir untuk mengisi acara seminar di sebuah organisasi Masisir. Aku tidak mengetahui kalau di acara itu aku akan di pertemukan lagi dengan laki-laki itu. Saat itu aku melihatnya menjadi moderator untuk acara seminarku. Aku gugup, ku rencanakan untuk menggantinya dengan orang lain, sungguh aku belum mampu untuk menemuinya. Aku memberanikan diri menuju ketua panitia menyampaikan niatku untuk menolak menjadi pengisi acara bersamanya.

            “Maaf Ukhty Aleeya. Tapi hanya dia anggota andalan kami. Dia yang paling banyak pengalamannya disini. Dan kebetulan dia adalah salah satu senior yang kami hadirkan untuk mengisi acara ini”. Jelasnya meminta pengertian.

           “Tapi saya kurang suka jika dia yang menjadi moderatornya. Saya tidak akan nyambung jika berbicara dengannya”. Paksaku berkilah.

     Ukhty, saya mohon coba terlebih dahulu. Insya Allah semuanya sesuai rencana”. Jelasnya agar mau ku pahami.

       “Hmhh… baik.” Refleks helaan napas panjang keluar, pertanda aku kalah dalam pembicaraan.

Cukup, aku menghindar darinya. Mungkin hari ini adalah saatnya untuk aku buktikan padanya bahwa aku perempuan berdaya. Dalam segala kalutku, lamunku dipecah oleh tepukan tangan audiens. Ketika itu sudah saatnya aku naik ke atas panggung. Aku segara bergegas.

Melihat wajahnya untuk yang pertama dari sekian lama kehilangannya, menjadikan bom waktu pada hatiku, aku tak kuasa dihadapannya. Ya Rabb, kuatkan hati hamba. Moderator itu memperkenalkan aku pada para audiens, katanya aku adalah salah satu duta perempuan yang telah mengangkat martabat seluruh perempuan di Indonesia.

            Ukhty, mendirikan komunitas perempuan berdaya ini karena alasan apa?”. Pertanyaan pertama darinya adalah pertanyaan yang mampu memecahkan pertahananku.

            Aku terlebih dahulu berusaha mendamaikan hatiku. Karena ini adalah awal dari semua luka itu. Aku sekuat tenaga menjawabnya dengan hati-hati, karena sekali aku membuat kesalahan dia pasti mengenaliku.

       “Saya memulainya sebab kejadian tidak adil yang terjadi pada diri saya. Keterpurukan itu membuat saya berpikir untuk menampung perempuan yang tidak diadili agar segera bangun dari keterpurukannya”. Jawabku mulai santai. Sungguh burqa’ ini menolongku. Dia tidak mengenali jati diriku.

             “Tapi melihat keadaan antum hari ini, rasanya tidak mungkin ada orang yang  berani menganiaya antum?”. Tanyanya berusaha memecah tawa.

           “Hmhh… mungkin. Tapi kejadiaan dua tahun lalu begitu menghina kehidupan saya”. Ku imbangi jawabannya dengan keseriusan. Bulir mutiara yang tak dapat ku tampung pada kelopak seketika berlomba jatuh menjadi instrumen penjelasanku. Memoriku kembali berputar pada kejadiaan dua tahun lalu.

            “Mohon maaf ukhty. Tolong tenangkan diri antum terlebih dahulu. Maaf jika saya melontarkan pertanyaan sensitif ini”. Tuturnya

            Aku tahan tangisku, aku kuasakan lagi untuk berbicara pada audiens.

            “ Ekhmm… Maaf. Sekuat - kuatnya saya. Saya juga seorang perempuan yang menggunakan air mata sebagai proses berdamai dan menenangkan hati pada keadaan. Hmh .. kalian harus tahu kalau sebagian orang sukses itu bermula dari orang lemah yang tidak dihargai, Thomas Alfa Edition; contohnya. Dan proses seperti itu juga terjadi pada kehidupan saya. Dua tahun yang lalu, ketika sudah saatnya saya dipersunting oleh seorang laki-laki yang sudah ada di altar pernikahan untuk mengucapkan “qobiltu” di depan tamu undangan, tiba-tiba suara notifikasi pesan dari kemenag menggagalkan acara kami. Dia ternyata lebih memilih mimpinya untuk menggapai Azhar dari pada saya yang telah menunggunya di pelaminan. Laki-laki itu egois telah meninggalkan saya pada acara yang begitu sakral. Dari kegagalan pernikahan itu, keluarga saya menjadi kambing hitam warga untuk dijadikan bahan olokan. Warga mengolok orang tua saya setiap hari tiada henti. Hingga akhirnya membuat kesehatan ibu saya menurun, karena setiap hari penyakit ibu semakin parah. Ibu yang paling saya cintai keberadaannya lebih dulu meninggalkan saya. Harapan terakhir bergantung pada ayah, tapi sepekan dari kepergian ibu, ayah lebih memilih bersama ibu dari pada menemaniku. Ayah menyusul ibu ke alam baka, dan meninggalkan saya anak tunggalnya. Sungguh karena laki-laki egois itu…”. Suaraku tercekat sebab tangisku makin menjadi. Aku sudah begitu tak kuasa menahan gejolak yang membakar dalam diri ini. Ya Muqalibal Qulub Tsabbit Qalbi ‘ala dinik….

            “Saya hancur”. Lanjutku dalam senggukan.

            “Ale?” Suara itu menghentikan tangisku.

         “Al, maafkan aku. Ini pasti kamu kan Aleeya dari kampungku. Aku telah curiga dari tadi Al!” Jelasnya padaku.

            Aku pergi tanpa menggubris pertanyaannya. Aku tahu kabur dari acara tanpa pamit itu suatu hal yang tidak sopan. Tapi tidak,  ini perihal hati.

            Aku lari dari acara dan menaiki metro untuk menenangkan diri di Masjid Sayyidah Nafisah, salah satu guru perempuan imam Syafi’i yang berada di negeri piramida. Karena hati ini juga ingin taqarrubban pada para auliya’.  Namun, menuju tempat tujuan, dia menemukanku.

            “Ale, ini kamu kan?”. Tanya laki-laki itu penuh harapan.

            “Maaf, Saya bukan Ale. Saya Aleeya”. Kilahku

            “Tidak kamu Aleku”. Paksa dia

            “Maaf, maksud antum siapa?”

            “Al, aku Arjuna Muhammad. Laki-laki egois yang kamu ceritakan tadi”

            “Maaf saya tidak kenal siapa Arjuna”.

            “Al, Maaf. Aku tidak tahu jika kejadiaan itu akan membuatmu menderita. Aku janji Al setelah studiku selasai, aku akan kembali padamu”.

            “Hmmhh…. Maaf, nasi sudah jadi bubur. Arjuna hanya cerita jaman purba. Hari ini tak ada nama itu lagi dalam hidup saya”

            “Al, tidak mungkin kau anggap aku tiada. Kau adalah perempuan yang sangat mencintaiku.”

            “Iya Ar, itu dulu. Hari ini kau sudah tak lagi berarti”

            “Tapi Al!”

            “Jika dulu kau bisa tinggalkan aku tanpa penjelasan, hari ini aku juga bisa meninggalkanmu tanpa penyesalan”

            “Al”

            “Hiduplah bahagia dengan caramu, Ar”.

           “Al, aku paham kamu kecewa, tapi demi kebahagianmu tolong paham, Al !!!”.

            “Stop, Ar. Tidak usah kasihani aku”

            “Pahamilah keadaan ini, Al”

            “Tolong!!!!!”. Aku berteriak di dalam metro. Semua mata tertuju pada Arjuna yang tengah memaksaku untuk paham. Seorang laki-laki tiba-tiba datang menghantam Arjuna, laki-laki itu pikir Arjuna berusaha menganiayaku. Di Mesir, ketika ada perempuan yang meminta tolong dia diutamakan oleh seorang laki-laki, karena bagi mereka perempuan adalah ratu dalam peradaban Mesir. Tidak akan ada nama Cleopatra jika masyarakat Mesir tidak menghargai perempuan.

            Melihat keadaan Arjuna  aku sangat prihatin, darah segar keluar dari batang hidungnya. Sungguh aku telah melakukan kesalahan. Segera aku mengumandangkan shalawat, karena seperti yang  jamak masyarakat tahu, di Mesir amarah bisa diredakan dengan satu bait shalawat. Keadaan kembali tenang, aku tak sanggup melihat lebam di sekujur tubuhnya, mengenaskan.

            “Saya mohon, tolong bawa dia ke Rumah Sakit terdekat”. Titahku

            “ Tidak”. Jawab laki-laki tadi.

        “Tolong mengertilah! Lihat kondisinya terlalu buruk”. Jelasku pada orang-orang di metro.

         “Wahai saudariku, laki-laki yang hendak menganiaya perempuan tidak pantas ada di dunia ini. Jadi, sudahlah biarkan dia mati menjadi bangkai saja”. Jawab laki-laki dengan perawakan besar itu yang tadi menolongku.

            “Tidak, bukan begitu. Demi Allah, dia orang baik. Aku mohon demi agama Islam, tolonglah saudara kalian ini”. Teriakku berusaha menjelaskan.

            “Baik, saudariku. Ini demi kamu sebagai seorang perempuan”. Jawab laki-laki itu mau.

            Setelah aku mendapatkan jawaban itu aku buru-buru turun dari metro dan segera pergi ke Masjid Sayyidah Nafisah untuk talaqqi dan menenangkan diri.

**

            Setelah kejadian lima tahun yang lalu itu, aku bisa mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Hari ini, Masjid Al-Azhar menjadi tempat ternyaman untuk aku melakukan talaqqi berdua dengan seorang mahasiswa asal Indonesia. Di pundaknya, aku menyulam hafalan-hafalan yang berusaha kusempurnakan. Begitu nikmat ketika dua insan bisa merajut cinta dalam buaian ayat-ayatNya. Suamiku, Arjuna yang ku punya.

____________________________

*Mahasiswi Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, seorang musafir ilmu di bumi Annuqayah. Dan merupakan anak yang lahir dari rahim Lajnah Falakiyah Annuqayah (LFA).

 

Posting Komentar

0 Komentar