/Senyumku/
Di pagi yang disaput rindu
Gembira memakzulkan sejuta sendu
Bergegas kupecut sepeda yang butut
Kuteriaki jeruji-jerujiya untuk berlari
Gelora semangat pada awal hari
Idealisme
demi membangun negeri
Mentari, senyum manisnya terangkat
Menonton aku yang tak pernah terlambat
Sinarnya menyapa hangat,
“Selamat pagi, Pak Guru,”
ucapnya. Aku tersimpul penuh haru
Sapaan setia
setiap hari yang baru
Angin yang berlari
Udara yang berjalan
Awan yang merangkak
Daun-daun yang berdansa dengan bulir-bulir
embun
Bersama
mentari, mereka menjadi saksi
Gerbang hitam sekolah terbuka
Sepeda bututku melenggang suka-suka
Murid-murid berangsur hadir beraneka
Anak-anak yang kurindukan,
Kan kudidik budi pekerti luhur
Kan kuajarkan ilmu pengetahuan
Senyum tulus kulebarkan
Karena
kalianlah masa depan
/Palsu,/
Terbongkar setiap tanggal satu
Ketika kulihat isi jumlah itu,
Digit-digit ini ternyata sedikit
menjelmakan semuanya menjadi rumit
Setengah jiwa memaksa berkelit,
“Mungkin seharusnya mundur saja.”
Setengah lain menolak,
“Kau harus tulus wahai, Pak Guru,
tidak ingatkah engkau pada muridmu,
pada masa depan bangsa?”
Tidak ada yang bisa melerai gejolak jiwa.
“Omong kosong! Kau juga manusia;
dadamu, perutmu, hidupmu butuh biaya.”
Sayatan-sayatan di hati lebar menganga
Perdebatan ini hampir memberangus cita
Dihajar, dilibas, dihantam,
Idealisme babak belur oleh realita
Rasa sabar berusaha berpendar
Memeluk semua sakit yang menyebar
Sebelah jiwa belum mau berhenti
Masih semangat memaki-maki
“Bodoh…! Manusia bodoh!
Di tempat lain lebih besar gajinya!
Setimpal, dan bisa membuatmu kaya!
Terus-terusan miskin? Mau-maunya?!
Rasa sabar kalah dan menjadi pudar
Suara sumbang semakin menggelegar
Putus asa terasa semakin nyata
Tanpa uang, manusia tidak bisa apa-apa
Tapi cinta dan cita itu? Akankah sia-sia?
Depresi mencekik, siap merenggut nyawa
/sampai Kuingat/
Ternyata tadi hanya kilasan lamunan
Namun lamun membangun sedu sedan
Pertanyaan datang tak terelakkan
Demi apa lelah ini?
Demi apa letih ini?
Demi apa uang, tenaga, pikiran, dan jiwa
ini?
Demi apa kukorbankan semua ini?
Apakah …?
Hanya demi mencari penghasilan
Demi perut yang takut kelaparan
Ketakutan akan kebutuhan yang menekan
Demi apa?
Ataukah …?
Demi mahligai adiwarna
Demi singgasana nirmala
Ataukah demi buaian dunia yang menggoda
Demi apa?
Demi apa perjuanganmu wahai guru?
Panas kautantang.
Dingin kauterjang
Diberondong hujan tak kauhiraukan …
Demi apa?
Demi apa semua itu?
Kau pun bingung tidak tahu,
Jawaban bagimu hanya satu:
terus melangkah maju.
/Niatku/
Masihkah ia sebersih istana
Masihkah ia sebening kaca
Masihkah ia sejernih telaga
Aku pun mulai ragu
Ragu, sampai suara lembut itu menegurku
“Assalamua’alaikum, Pak Guru.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
Seorang murid mencium tanganku
Sungguh berarti senyuman itu
Mendidikku untuk tidak diseret oleh sendu
Mengejarkanku bahwa cinta akan selalu
memandu
Terima kasih, murid-muridku
Yang kuajarkan hanyalah ilmu pengetahuan
Namun, kalian mengajarkanku makna kehidupan
__________________________
Spesial Hari Guru Nasional
1 Komentar
Nice 👏
BalasHapus